Mengenal Palestina Israel Zionisme di Timur Tengah |
Pada akhir dari Perang Dunia 1, Inggris dan Perancis merebut hampir seluruh wilayah Ottoman di Timur Tengah dan mulai mempersiapkan kemerdekaan dari jajahannya. Satu per satu, negara yang dulu dikuasai oleh Sultan di Istanbul memilih pemimpinnya sendiri.
Perayaan dan kegembiraan tersebar dimana-mana untuk menyambut kemerdekaan ini. Hanya saja, hal yang berbeda terjadi semenjak 14 Mei 1948. Alih-alih perayaan, kerusuhan tersebar luas. Angkatan bersenjata dimobilisasi dalam persiapan perang. Dan perhatian seluruh dunia seakan terpaku pada Palestina.
Akar permasalahannya? Sepetak tanah di Palestina yang baru saja diproklamasikan sebagai Israel. Bagi bangsa Arab, Israel adalah tumor penjajahan yang harus dimusnahkan. Bagi bangsa Yahudi, Israel adalah buah perjuangan dari sebuah ide ide yang dulu dianggap tidak mungkin. Bahkan, haram. Bila konsep mengenai negara Yahudi sangat asing, bagaimanakah Israel bisa ada? Apakah ide yang memulainya? Pada awal abad Masehi, Romawi menduduki Judea.
Setelah bangsa Yahudi memberontak dan gagal, Romawi menghancurkan kuil penyembahan dan mengusir sebagian besar penduduknya ke seluruh Eropa. Di Eropa mereka disebut sebagai orang Yahudi, karena menganut agama Judaisme. Berdasarkan kepercayaan bangsa Yahudi, Mesias atau Juruselamat akan datang dan mempersatukan mereka semua kembali ke Yerusalem. Meski demikian, seperti ajaran agama lain, kepercayaan ini mulai ditantang dengan aliran-aliran filosofi baru yang berkembang pesat di Eropa. Dan ini semua berasal dari tiga persistiwa besar.
Ketiga hal tersebut mengakibatkan dua hal. Pertama, pemisahan agama dan kehidupan publik. Kedua, peperangan di Eropa semakin memantik perasaan nasionalisme. Akibatnya, orang Yahudi di Eropa dipaksa untuk melupakan tradisi mereka demi mengasimilasikan dirinya dengan masyarakat Eropa. Berkat asimilasi, orang Yahudi mulai melupakan ajarannya.
Bagi mereka, Palestina sudah menjadi tempat yang puruk, terbelakang dan berbahaya karena dikuasai oleh kekaisaran Ottoman. Meski diskriminasi masih kerap terjadi, Eropa Barat masih menjadi pilihan yang lebih baik. Namun, situasi berbeda terjadi di Eropa Timur. Di Eropa Timur, di mana nilai-nilai liberalisme belum terasa, diskriminasi terhadap Yahudi jauh lebih mematikan. Mereka dipaksa tinggal di daerah kumuh dan tidak diperbolehkan bepergian sesuka hati. Bahkan tidak berhak mendapatkan pendidikan. Sebagian besar dari mereka bahkan tidak bisa berbahasa lokal dan kerap menjadi target penyerangan. Bahkan pembantaian. Bagi mereka, Palestina merupakan pilihan yang jauh lebih baik daripada tempat asal mereka.
Semenjak tahun 1880, ratusan orang Yahudi di Eropa Timur memilih untuk berpindah tempat tinggal ke Palestina, di Kekaisaran Ottoman. Hanya saja, rencana untuk imigrasi masal ini dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Banyak pendatang ke Palestina yang meninggal karena penyakit malaria, kelaparan, atau ditangkap oleh pasukan Turki. Sepertinya, harapan mengenai kembali ke kampung halaman mereka... ...telah sirna. Pada tahun 1891, Seorang jurnalis ditugaskan untuk meliput peristiwa politik di Perancis.
Jurnalis ini bernama Theodor Herzl. Setelah meliput berbagai serangan terhadap bangsa Yahudi di Perancis, Herzl mengambil sebuah kesimpulan pahit. Bangsa Yahudi akan tetap dianggap sebagai pendatang dan di anak tirikan di manapun mereka berada. Tak peduli bahwa mereka sudah terasimilasi, menganut agama lokal, bahkan menjadi bagian dari angkatan bersenjata negara itu. Bagi dia, bangsa Yahudi tetap akan dibenci di mana sana mereka berada. Dengan demikian, salah satu solusi adalah memiliki negaranya sendiri.
Herzl merasa bahwa imigrasi ke Palestina saja tidak cukup. Bahkan, berbahaya. Hal pertama yang harus dilakukan untuk mendirikan negara Yahudi adalah memastikan dukungan dari negara Eropa yang besar terlebih dahulu. Setelah mendapatkan perjanjian resmi untuk membentuk sebuah negara, barulah imigrasi massal bisa dimulai. Di sinilah ideologi Herzl bertentangan jauh dengan ajaran Judaisme. Apabila Judaisme didasarkan dengan agama yang menantikan keselamatan dari Mesias, ideologi Herzl didasarkan dengan nasionalisme Yahudi.
Herzl merasa bahwa bangsa Yahudi tidak bisa menunggu terlalu lama. Bangsa Yahudi menurutnya, harus mengambil alih takdir mereka dan segera membentuk negara di Palestina. Ideologi Herzl inilah yang kemudian dinamakan sebagai... ...Zionisme. Dan mulailah Herzl menyebarkan ideologinya. Pada tahun 1897, dia mengumpulkan tokoh Yahudi dari seluruh Eropa dalam Kongres Zionis pertama. Rencana yang ditawarkan Herzl mendapatkan banyak dukungan dan penolakan. Bagi mereka yang menentang Zionisme, membuat sebuah negara bagi bangsa Yahudi akan melanggar Kitab Taurat, di mana hanya Mesiaslah yang bisa mempersatukan bangsa pilihan Tuhan.
Namun, Herzl tidak menyerah. Dia mulai mendekati beberapa petinggi dari Jerman yang dekat dengan Kekaisaran Ottoman. Setelah mendapatkan dukungan mereka, barulah dia beranjak ke Kekaisaran Ottoman. Untuk meminta sepetak tanah tersebut, dia menawarkan bantuan keuangan bagi Kekaisaran Ottoman. Namun, Kekaisaran Ottoman, yang sedang menghadapi banyak tantangan dari Eropa, tidak ingin memberikan seinci pun tanah di Palestina. Sekali lagi, Herzl tidak menyerah. Akibat dari gagalnya Herzl meyakinkan Kekaisaran Ottoman, dia mulai mendekati musuh dari Kekaisaran Ottoman. Rusia dan Inggris.
Meskipun gagal untuk meyakinkan Rusia, Herzl mendapatkan tawaran wilayah dari Inggris. Wilayah tersebut bukan berada di Palestina, melainkan Uganda. Dan tentu saja, tawaran tersebut ditolak. Lebih nahasnya lagi, Herzl tidak pernah hidup untuk melihat impiannya tercapai. Pada tahun 1904, Theodor Herzl meninggal dunia. Pada tahun 1914, kelompok Zionis yang sudah tersebar di mancanegara, mengalami sebum dilema. Kekaisaran Ottoman beserta dengan Jerman turut berperang melawan kekuatan Sekutu. Inggris yang merupakan bagian dari Sekutu tersebut, merespon hal ini dengan mendukung nationalisme bangsa-bangsa Arab agar memberontak pada kekuasaan sentral Kekaisaran Ottoman. Kelompok Zionis terbagi menjadi dua kubu.
Bagi orang-orang Yahudi yang sudah menetap di Palestina Kekaisaran Ottoman adalah harapan terbesar mereka dari ancaman Inggris yang mendukung bangsa-bangsa Arab. Sementara para Zionis yang berada di Eropa, merasa bahwa ancaman terbesar datang dari Kekaisaran Ottoman. Maka dari itu, Inggrislah yang harus didukung. Salah satu dari Yahudi Eropa yang mendukung Inggris adalah seorang ilmuwan bernama Chaim Weizmann. Selama perang berkecamuk, dia melobi Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Balfour, untuk memberikan sepetak tanah di Palestina bagi bangsa Yahudi apabila Inggris berhasil mengalahkan Kekaisaran Ottoman.
Dan ini adalah balasan dari Lord Balfour. [Inti surat: Kami mendukung Palestina sebagai sebuah kampung halaman bagi orang-orang Yahudi.] 4 tahun kemudian, yakni pada tahun 1918, Inggris terbukti berhasil mengalahkan Kekaisaran Ottoman. Dan tidak hanya itu, dia diberikan mandat oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) untuk berkuasa di atas seluruh tanah Palestina. Dan dengan kekuasaan ini, Inggris mulai mengambiil kebijakan yang seakan mengingkari janjinya dengan bangsa Yahudi. Pada tahun 1921, Inggris membentuk kerajaan Transjordan.
Dan kerajaan ini bukan bagi negara Yahudi. Tanpa disangka, pengingkaran janji ini memantik nasionalisme ekstrim di bangsa Arab Palestina yang menghendaki kemerdekaan serupa. Dan juga di sisi Yahudi yang semakin tidak mempercayai Inggris dan membenci bangsa Arab. Konflik antar masyarakat Arab dan Yahudi di Palestina semakin meningkat hari demi hari. Di mana kedua belah pihak saling menyerang satu sama lain.
Dengan meningkatnya kekerasan, seorang ekstrimis bernama Vladimir Zhabotinsky membentuk sebuah milisi Yahudi bernama Haganah. Zhabotinsky percaya bahwa negara Yahudi tidak boleh menerima bangsa Arab karena sudah banyak negara Arab di Timur Tengah. Dia juga percaya bahwa bangsa Yahudi juga tidak boleh mempercayai bangsa manapun, termasuk Inggris. Dengan meningkatnya kedatangan Yahudi dari Eropa, kekerasan pun turut bertambah. Pada tahun 1939, Inggris mulai kewalahan akan konflik antar Arab dan Yahudi di Palestina. Dan Inggris memutuskan untuk menghentikan imigrasi Yahudi ke Palestina.
Hanya saja tahun 1939 merupakan tahun yang sangat menakutkan bagi bangsa Yahudi. Jerman baru seja dikuasai oleh Partai Nazi, yang berambisi memburu dan memusnahkan seluruh orang Yahudi di dunia. Bukan hanya itu, pandangan ekstrim dari Vladimir Zhabotinsky pun mendapat banyak dukungan dari orang-orang Yahudi. Bahkan mereka yang awalnya ingin hidup berdampingan dengan bangsa Arab di Palestina, turut terkontaminasi dengan kebencian ini.
Kelompok teror Yahudi pun mulai terbentuk, seperti Irgun dan Lehi untuk menyerang, bahkan melakukan pembunuhan perwira-perwira Inggris yang dianggap menghambat imigrasi Yahudi ke Palestina. Mereka juga menebar teror di populasi Arab. Ekstrimisme dari kedua kelompok ini, membuat bahkan beberapa tokoh Yahudi seperti David Ben-Gurion, mengecam tindakan mereka dan mendorong Inggris serta seluruh dunia untuk segera mengesahkan pembentukan negara Yahudi demi menghentikan segala kekacauan di Palestina ini.
Inggris semakin muak akan kekacauan di Palestina dan memilih untuk menyerahkan Palestina ke tangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Di bawah United Nation Special Commission On Palestine (UNSCOP), masa depan Palestina ditentukan. Palestina akan dibagi menjadi tiga bagian. Satu untuk bangsa Yahudi. Satu untuk bangsa Arab. Dan Yerusalem bagi PBB. Pada tanggal 29 November 1947, pemilihan suara dimulai. Dan hasilnya? 33 negara menyetujui. 13 negara menolak. 10 negara abstain. 1 negara tidak hadir. Pada akhirnya, impian dari Zionisme tercapai. Dunia telah mengakui keberadaan negara Israel... ...meski tidak semuanya.